Selasa, 09 April 2013

GAY'S MARRIAGE : three



Ana Fahriza PoV

Aku Ana Fahriza. Aku hanya seorang anak biasa, sekolah di sekolah yang biasa dan menghadapi kehidupan biasa yang membosankan. Dan beberapa minggu yang lalu, aku kehilangan satu-satunya keluargaku, kakekku setauku hanya dia yang aku punya. Karena ayah ibuku meninggal karena kecelakaan mobil saat aku berusia dua tahun. Aku tak sempat mengenal mereka, aku hanya mendengar dari cerita-cerita kakek tentang mereka dan sebuah foto lama, foto saat aku baru lahir, dimana ibu dan ayahku memeluk tubuhku dengan senyuman lebar. Hanya itu, dan  foto usang itupun sudah mulai rusak. Hanya saja ada satu hal yang tidak biasa, aku harus ekstra banting tulang buat meneruskan sekolah karena hidupku yang serba pas-pasan. Yeaaah, pas buat makan, pas buat bayar sewa rumah , bukan rumah sih tepatnya kamar kecil yang paslah buat tidur, pas buat bayar air, listrik, pulsa, dan…....
Pagi sampai siang  Sekolah lalu sore sampai malam bekerja di kafe lalu pulang belajar dan tidur, itu sudah menjadi rutinitas hari-hariku. 

Aku seorang siswa kelas tiga di sekolah menengah atas yang  biasa-biasa saja. Yang sebentar lagi akan mengikuti ujian akhir dan kelulusan. Aku berharap aku bisa lulus, dengan baik. Yah meskipun belum tentu aku bisa melanjutkan kuliah tapi setidaknya aku bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, siapa tahu aku mendapat rezeki atau ada seseorang dermawan yang baik hati untuk membiayai sekolahku, ah siapa tahu yang pasti aku tidak boleh putus harapan. Pasti ada jalan.

“ An...” teriak seseorang dari kejauhan.
Aku hanya diam. Rasanya malas sekali meladeni orang yang satu ini.

“ Ana.... “ teriaknya lagi kali ini dengan suara yang lebih keras.

“ apa “ sahutku cuek sambil terus berjalan tanpa mengiraukan suara dibelakangku.

“ An... Ana... tungguuuuuuu..... “ teriak orang itu lagi

“ cu..ek am..at neng “ celetuknya ketika sudah berjalan sejajar di sebelahku. Tangannya mengelus-elus dadanya. Suaranya masih terdengar putus-putus dan nafasnya ngos-ngosan gara-gara berlari. Hih siapa suruh lari-lari ngejar aku.

Pagi-pagi aku harus berurusan lagi dengan Valdo. Anak pemilik kafe yang seminggu yang lalu baru datang dari singapore. Dan disinilah dia menjadi temanku, teman sekelasku.

Namanya Valdo Denmian, dia tinggi, tampan, kulitnya putih tak lupa giginya juga putih plus lesung pipitnya, sehingga kalau melihatnya tersenyum mungkin semua gadis-gadis langsung meleleh di tempat kayak gel. Yah sempurnalah bagi anak perempuan seumuranku.

“ hei... kenapa tak menghiraukanku huh?” 

Valdo tiba-tiba merangkulku, ketika ia sudah berjalan sejajar denganku. Bocah ini.

“ iiih... apaan sih, rangkul-rangkul. Berat tahu!” bukannya melepaskan rangkulannya malah semakin mempererat rangkulannya sambil tertawa kecil, leherku terasa tercekik. Aku susah bernafas. Oh tuhan. Aku mencoba melepaskan rangkulannya, tapi nihil.ah apa boleh buat, ini gara-gara tenagaku belum full ya karena aku belum sarapan.awas saja bocah ini kalau tenagaku sudah pulih kembali.

Kami telah sampai di gerbang sekolah. Dan Valdo masih saja merangkul leherku.

“ hai Valdo....” kata para siswi yang berpapasan dengan kami. Mereka menunjukkan senyum sumringah yang buat dengan kesan imut. Dan itu hanya tertuju pada si tengil Valdo, ketika memandangku ah jangan ditanya betapa menyeramkannya alih-alih senyum yang kudapat malah kesinisan yang terasa aka segera mencekikku hingga sesak nafas. Iiih genit amat sih. Dan lagi si Valdo membalas tersenyum memamerkan gigi putih beserta lesung pipinya pada mereka dan melambaikan tangan bak cassanova. Hadoooh. Aku mengedarkan pandanganku ke penjuru lain malas banget ngeliatin makhluk-makhluk genit yang lagi kehipnotis sama si Valdo. Hingga mataku tertuju  pada seorang lelaki paruh baya yang berada tak jauh dari gerbang sekolahku. Ia menatapku dalam. Mungkin perasaanku saja. Aku mengalihkan pandanganku dan menengok kembali ke arah lelaki itu. Ia masih memandangku? Dengan pandangan penuh selidik. Aku jadi was-was.

“ udah ah, gak usah tebar pesona mulu deh,entah habis tuh pesona !” kataku sambil melepas rangkulannya dan berjalan meninggalkannya. Yiiiihhaaaa... aku bersorak riang dalam hati.

Laki-laki tadi siapa? Kenapa ia terus memandangiku? Aku bergidik ngeri.Kewaspadaanku kembali muncul. Bisa saja ia penjahat, penculik, atau pembunuh berdarah dingin atau.... sejenisnya???? Daripada aku berkhayal macam-macam lebih baik aku segera masuk kelas. Dan untuk kesekian aku kembali menoleh ke belakang ke arah laki-laki itu. Dan ia masih menatapku dan bukan hanya itu, ia mengangkat ponselnya dan mengarahkannya kepadaku. JEPPPRETTTT... kilatan dan suara kamera kudengar samar-samar tak salah lagi itu berasal dari ponsel lelaki itu. Dia memfoto aku. Huaaaaa. Bagaimana ini. Aku pun segera berlari meninggalkan Valdo yang berteriak-teriak memanggilku yang kurasa ia juga berlari mengejarku.


Tidak ada komentar: