Ana Fahriza PoV
Aku Ana Fahriza. Aku hanya seorang anak biasa,
sekolah di sekolah yang biasa dan menghadapi kehidupan biasa yang membosankan. Dan
beberapa minggu yang lalu, aku kehilangan satu-satunya keluargaku, kakekku
setauku hanya dia yang aku punya. Karena ayah ibuku meninggal karena kecelakaan
mobil saat aku berusia dua tahun. Aku tak sempat mengenal mereka, aku hanya
mendengar dari cerita-cerita kakek tentang mereka dan sebuah foto lama, foto
saat aku baru lahir, dimana ibu dan ayahku memeluk tubuhku dengan senyuman
lebar. Hanya itu, dan foto usang itupun
sudah mulai rusak. Hanya saja ada satu hal yang tidak biasa, aku harus ekstra
banting tulang buat meneruskan sekolah karena hidupku yang serba pas-pasan. Yeaaah,
pas buat makan, pas buat bayar sewa rumah , bukan rumah sih tepatnya kamar
kecil yang paslah buat tidur, pas buat bayar air, listrik, pulsa, dan…....
Pagi sampai siang Sekolah lalu sore sampai malam bekerja di
kafe lalu pulang belajar dan tidur, itu sudah menjadi rutinitas hari-hariku.
Aku seorang siswa kelas tiga di sekolah
menengah atas yang biasa-biasa saja.
Yang sebentar lagi akan mengikuti ujian akhir dan kelulusan. Aku berharap aku
bisa lulus, dengan baik. Yah meskipun belum tentu aku bisa melanjutkan kuliah
tapi setidaknya aku bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, siapa tahu aku
mendapat rezeki atau ada seseorang dermawan yang baik hati untuk membiayai
sekolahku, ah siapa tahu yang pasti aku tidak boleh putus harapan. Pasti ada
jalan.
“ An...” teriak seseorang dari kejauhan.
Aku hanya diam. Rasanya malas sekali meladeni
orang yang satu ini.
“ Ana.... “ teriaknya lagi kali ini dengan
suara yang lebih keras.
“ apa “ sahutku cuek sambil terus berjalan
tanpa mengiraukan suara dibelakangku.
“ An... Ana... tungguuuuuuu..... “ teriak
orang itu lagi
“ cu..ek am..at neng “ celetuknya ketika sudah
berjalan sejajar di sebelahku. Tangannya mengelus-elus dadanya. Suaranya masih terdengar
putus-putus dan nafasnya ngos-ngosan gara-gara berlari. Hih siapa suruh
lari-lari ngejar aku.
Pagi-pagi aku harus berurusan lagi dengan
Valdo. Anak pemilik kafe yang seminggu yang lalu baru datang dari singapore.
Dan disinilah dia menjadi temanku, teman sekelasku.
Namanya Valdo Denmian, dia tinggi, tampan,
kulitnya putih tak lupa giginya juga putih plus lesung pipitnya, sehingga kalau
melihatnya tersenyum mungkin semua gadis-gadis langsung meleleh di tempat kayak
gel. Yah sempurnalah bagi anak perempuan seumuranku.
“ hei... kenapa tak menghiraukanku huh?”
Valdo tiba-tiba merangkulku, ketika ia sudah
berjalan sejajar denganku. Bocah ini.
“ iiih... apaan sih, rangkul-rangkul. Berat tahu!”
bukannya melepaskan rangkulannya malah semakin mempererat rangkulannya sambil
tertawa kecil, leherku terasa tercekik. Aku susah bernafas. Oh tuhan. Aku mencoba
melepaskan rangkulannya, tapi nihil.ah apa boleh buat, ini gara-gara tenagaku
belum full ya karena aku belum sarapan.awas saja bocah ini kalau tenagaku sudah
pulih kembali.
Kami telah sampai di gerbang sekolah. Dan Valdo
masih saja merangkul leherku.
“ hai Valdo....” kata para siswi yang
berpapasan dengan kami. Mereka menunjukkan senyum sumringah yang buat dengan
kesan imut. Dan itu hanya tertuju pada si tengil Valdo, ketika memandangku ah
jangan ditanya betapa menyeramkannya alih-alih senyum yang kudapat malah
kesinisan yang terasa aka segera mencekikku hingga sesak nafas. Iiih genit amat
sih. Dan lagi si Valdo membalas tersenyum memamerkan gigi putih beserta lesung
pipinya pada mereka dan melambaikan tangan bak cassanova. Hadoooh. Aku mengedarkan
pandanganku ke penjuru lain malas banget ngeliatin makhluk-makhluk genit yang
lagi kehipnotis sama si Valdo. Hingga mataku tertuju pada seorang lelaki paruh baya yang berada
tak jauh dari gerbang sekolahku. Ia menatapku dalam. Mungkin perasaanku saja. Aku
mengalihkan pandanganku dan menengok kembali ke arah lelaki itu. Ia masih
memandangku? Dengan pandangan penuh selidik. Aku jadi was-was.
“ udah ah, gak usah tebar pesona mulu
deh,entah habis tuh pesona !” kataku sambil melepas rangkulannya dan berjalan
meninggalkannya. Yiiiihhaaaa... aku bersorak riang dalam hati.
Laki-laki tadi siapa? Kenapa ia terus
memandangiku? Aku bergidik ngeri.Kewaspadaanku kembali muncul. Bisa saja ia
penjahat, penculik, atau pembunuh berdarah dingin atau.... sejenisnya???? Daripada
aku berkhayal macam-macam lebih baik aku segera masuk kelas. Dan untuk kesekian
aku kembali menoleh ke belakang ke arah laki-laki itu. Dan ia masih menatapku
dan bukan hanya itu, ia mengangkat ponselnya dan mengarahkannya kepadaku.
JEPPPRETTTT... kilatan dan suara kamera kudengar samar-samar tak salah lagi itu
berasal dari ponsel lelaki itu. Dia memfoto aku. Huaaaaa. Bagaimana ini. Aku pun
segera berlari meninggalkan Valdo yang berteriak-teriak memanggilku yang kurasa
ia juga berlari mengejarku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar