Senin, 19 November 2012

CERPEN PERTAMAKU,,,



2011






[REMBULAN]
PENGARANG  NUR PERMATA SARI






















Sekarang Radit dapat mengenakan jas putih ini dengan tanda pengenalnya. Di situ tertulis dr. Radiya Handika. Betapa senang hatinya, sekarang ia telah menjadi seorang dokter. Ia Benar-benar tidak bisa percaya impiannya selama ini menjadi kenyataan. Telah seminggu ia  bekerja di sebuah rumah sakit besar. Setiap hari ia bertemu orang-orang  yang menderita kanker, dari anak-anak hingga orang dewasa. Dia sangat beruntung karena dokter-dokter senior juga ikut andil dalam membantunya untuk balajar menjadi seorang dokter yang baik.
Seperti biasa hari ini ia datang ke rumah sakit, namun hari ini ia datang lebih pagi. Ia berjalan di koridor rumah sakit. Dengan tak henti tersenyum, entah kenapa hari ini suasana hatinya sangat gembira.
“ Bruuk….” Sebuah suara membuat Radit tersontak kaget.
Segera Radit mencari sumber suara. Ternyata apa yang ia lihat ? seorang gadis tersungkur di samping kursi roda yang terselungkup di dekat taman. Radit segera hampiri gadis itu dan menyandarkan gadis di pelukannya. Airmata menetes di pipi gadis itu, tangannya memegang erat sebuah buku bersampul biru muda. Tak lama kemudian ia pingsan.
“ Kamu baik-baik saja, buka matamu……. ” Radit pun panic.
“ Suster-suster…… suster….!!!”
“ Iya… dok, ada apa?” seorang suster datang.
“ Cepat bantu saya, anak ini terluka.”
“ Iya, Dok.”
Dengan tergesa-gesa Radit segera membawa gadis itu ke ruang gawat darurat dan membiarkan tim dokter Danu untuk menanganinya. Setelah beberapa lama ia menunggu, akhirnya dokter Danu keluar. Radit langsung menyerangnya dengan berbagai pertanyaan secara beruntun.
“ Bagaimana Dok ? apakah ia baik-baik saja? Apa yang terjadi padanya? Apakah lukanya parah?”
“ Sebentar.. sebentar, tolong satu-satu dong pertanyaannya” jawab dokter Danu dengan santai.
“ Bagaimana ?” Tanya Radit  kembali
“ Bulan baik-baik saja kok, dokter. Hanya benturan ringan ” jawab dokter Danu.
“ Syukurlah kalau begitu, jadi namanya Bulan yah?”
“ Benar. Dia adalah pasienku. Sudah kurang lebih dua setengah tahun ia dirawat di sini”
Setelah lama berbincang-bincang dengan dokter Danu, Radit pun masuk ke ruangan tempat Bulan dirawat. Ia pandangi wajah Bulan yang terlihat lelah, ia masih tak sadarkan diri.
“ Ya, Tuhan! Betapa malangnya nasib gadis ini. Ia masih muda, tapi harus menanggung beban yang sangat berat. Tak kusangka ia menderita penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya”
Hati Radit terenyuk, tak sadar airmatanya jatuh membasahi pipinya. Apalagi ia kembali teringat perkataan dokter Danu tadi bahwa Bulan menderita kanker otak stadium empat. Yang berarti sudah stadium akhir. Tiba-tiba matanya melirik sebuah buku yang segera menarik perhatian Radit.
“ Ini… Bukankah ini ! buku yang tadi dipegang Bulan ” pikier Radit.
Dia pun buka helaian buku tersebut. 



Tiap menit…. Tiap detik… Tiap jam … Dan setiap waktu
Jantungku berpacu makin kencang…
Cemas menyerang sekujur tubuhku…
Menyergap serpihan-serpihan asa
Aku takut….
Aku takut…. Jantung ini tiba-tiba berhenti
Aku takut…. Mata ini akan tertutup untuk selamanya
Aku takut… raga ini akan kaku
Mengapa…. Takdir ini tergores padaku….
Serasa.. sayap asaku patah dan aku terjatuh ke dasar lembah
Mengubur mimpi-mimpi
Meruntuhkan pondasi dan tiang-tiang hidupku….


Setelah membaca puisi  itu Radit segera keluar. Radit pergi menuju toilet. Tidak sadar ternyata air matanya menetes. Dia terdiam membisu, sekujur tubuhnya dingin dan bergetar terenyuk dengan keadaan yang Bulan alami.
Sementara itu, di ruangan tempat Bulan kini terbaring lemah. Bulan mulai membuka matanya serta menggerak-gerakkan tangannya. Bulan lalu memandangi sekelilingnya dan pandangannya terhenti. Airmata Bulan mengalir deras membasahi pipinya yang chubby. Isakannya semakin lama semakin keras.
Radit segera kembali menuju kamar Bulan. Kebetulan hari ini ia tidak terlalu banyak pekerjaan, semua tugasnya hari telah selesai ia kerjakan, sehingga ia punya waktu cukup luang untuk bersantai-santai. Radit berniat untuk melihat keadaan Bulan. Semakin dekat dengan kamar Bulan. Terdengar suara tangisaan seseorang. Radit pun terus berjalan, sesampai di depan pintu, di balik kaca kecil pintu kamar Bulan dirawat ia melihat Bulan sedang menangis. Radit mendorng gagang pintu dan langsung menghampiri Bulan.
“ Ada apa ? mengapa kau menangis ?” Tanya Radit lalu menjongkokkan badannya mendekati ranjang Bulan.
Bulan tak menjawab, ia terus menangis terlihat matanya sudarh agak bengkak karena terus menangis.
“ Baiklah, tenang-tenang !!! sebaiknya kau minum terlebih dahulu ” kata Radit lagi seraya menyodorkan segelas air putih kepada Bulan. Bulan mengangggukkan kepalanya dan tangisannya sudah mulai reda. Bulan segera meinum air yang Radit berikan.
“ Kau sudang merasa baikan? ” Tanya Radit. Namun Bulan masih diam membisu.
“ Ada apa? Kau bisa mengatakannya kepadaku ” Radit terdiam sebentar dan menatap  wajah Bulan, dari wajah Bulan terlihat sekali kesedihan yang dalam.
“ Aaaaah….. aku lupa. Mana mungkin kau menceritakan apapun kepadaku, sedangkan kita saja belum kenal, iya kan? Namaku Radit, kamu bisa memanggilku Radit. Kamu Bulan kan? ” kata Radit seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum.
“ Iya ” jawab Bulan lemah.
Bulan mengangkat kepalanya sembari menyungingkan senyuman kecil. Radit senang sekali melihatnya kini tersenyum tidak seperti tadi, ia terus-menerus menangis. Tidak lama seorang wanita paruh baya berpakaian kantor masuk dengan tergesa-gesa dan langsung memeluk Bulan.
“ sayang…. Kamu tidak apa-apa kan… apanya yang sakit ? ” Tanya wanita itu seraya membelai  wajah bulan dengan lembut.
“ tadi bulan terjatuh di taman. Tapi lukanya tidak parah kok.. Cuma ssedikit terbaentur ” sahut Radit.
“syukurlah…. Kamu tidak apa-apa sayang… terimakasih ya dok !”
“ iya… sama-sama…. Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu”
“iya… silahkan”
****
Sebulan telah berlalu,Radit kini semakin akrab dengan Bulan. Setiap hari Radit selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Bulan selepas selesai tugas. Mereka membicarakan banyak hal, bercanda, dan sesekali curhat masalah pribadi. Radit hari-hari bekerja di rumah sakit ini sangat menyenangkan ditambah kehadiran Bulan di kehidupannya. Persahabatan pun telah terjalin di antara mereka. Radit mulai merasakan benih-benih cinta yang mulai tumbuh di hatinya terhadap Bulan. Bahkan terkadang menemaninya hingga larut malam apabila tak ada kerjaan atau lagi malas pulang ke rumah karna Radit hanya tinggal sendiri di rumah, ayah dan ibunya jarang sekali berada di rumah, karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Seperti malam ini Radit menemani Bulan sampai larut. Radit mendorong kursi roda Bulan, membawanya ke taman rumah sakit yang terletak tidak jauh dari kamar Bulan. Mereka duduk di kursi taman sembari memandangi langit yang bertaburan bintang serta bulan yang bersinar terang. Suasana hening malam mulai menyelimuti, rumah sakit mulai sepi karna para pasien sudah mulai beristirahat dan para pengunjung pun sudah tidak terlihat. Hanya ada beberapa dokter dan suster yang mendapat jadwal malam yang berada di ruang kerja.
“ Malam ini langit sangat indah ya!! ” ucap Bulan.
“ Benar,, coba lihat  bintang itu !! ” seru Radit sambil mennjuk dengan jari telunjuknya.
“ iya. Bintang itu sepertinya lebih besar dibanding bintang yang lain, benarkan?” Tanya Bulan.
“ Benar ” sahut Radit.
“ ada bintang jatuh… cepat buat permohonan” seru Bulan. Ia memejamkan matanya dan mengucapkan permintaannya dalam hati. Semoga aku dapat hidup sedikit lebih lama, setidaknya untuk berada disampingnya walau hanya sekejap.
“ dok…” kata Bulan
“ hmmm… kayaknya lebih baik kamu panggil nama aja deh… soalnya kita kan seumuran. Kalau dipanggil dok.. jadi terkesan tua ” kata Radit sambil nyengir
“ hmmm… baiklah..  Ra,,dit ”
Bulan tersenyum. Ia terlihat sangat manis sekali. Matanya yang agak sipit hampir tenggelam karena pipinya yang chubby.
Untuk sekejap mereka terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri.Tak lama Bulan telah tersandar di bahu radit, ia tertidur pulas. Radit memandangi wajah bulan yang mungil dan chubby. Bulan terlihat sangat manis dan ekspresinya sepertinya ia sangat bahagia. Malam semakin larut. Bulan di langit bersinar semakin terang menemani heningnya malam.
****
Hari ini seperti biasa, sehabis bertugas Radit kembali mengunjungi Bulan. Tapi ada yang berbeda, ia ekspresi wajahnya sangat senang dan bersemangat.
“ Aku akan mengatakan padanya… semoga ia suka ” batin Radit.
Radit berjalan menuju kamar Bulan, ditangannya ada seikat mawar merah segar yang ia beli di toko bunga di depan rumah sakit selepas makan siang tadi. Radit memasuki ruangan tempat Bulan dirawat. Tetapi, Bulan ternyata  tidak ada di sana Radit pun segera menuju taman, ia yakin Bulan ada di sana. Radit menyusuri sekitar taman. Ia akhirnya menemukan Bulan.
“ Bulan….. ” sapa Radit. Bulan membalikkan mukanya seraya tersenyum. Keduanya kemudian duduk di kursi taman. Mereka mulai berbincang-bincang. Hingga saatnya Radit untuk mengungkapkn perasaannya pada Bulan.
“ emmmm….. Bulan… aku mau bicara sesuatu sama kamu..”
“ ya… ” jawab Bulan dengan lembut.
“ aku… aku………….aku…… aku sayang sama kamu ” ucap Radit dengan lega akhirnya ia dapat mengatakannya. Namun, Bulan hanya diam.
Bulan merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, kepalanya terasa berat. Bulan mencoba untuk membuka matanya, namun tidak bisa. Terasa sangat berat pandangannya menjadi putih. Tubuhnya lemah lunglai. Darah segar menetes dari hidungnya. Ia merasakan inilah saat-saat terakhirnya. Ia pun bersandar di bahu Radit.
“ bagaimana dengan kamu ?.... ”  Tanya Radit seraya memberikan setangkai bunga mawar yang ia bawa tadi. Tapi, Bulan tetap diam. Radit pun menoleh ke arah Bulan.
 “ Bulan…………. Kamu tidur ? ” Tanya Radit lagi. Dipandanginya Bulan dengan seksama.
“Bulan… kamu mimisan….. Bulan… Bangun….. sadarlah buka matamu ”
“ Radit….” Desah Bulan sambil tersenyum kepada Radit. Ia masih memegang erat buku yang bersampul biru.
“ sudah… kamu jangan bicara dulu”
“ radit…. Aku juga sayang sama kamu ” desah Bulan
“ terima kasih Tuhan… aku masih diberikan kesempatan untuk berada di sisinya meski hanya dalam hitungan detik… aku bahagia… sa…ngat bahagia….” Ucap Bulan dalam hati.
“ Bulan… bertahanlah… aku akan panggil dokter ” kata Radit. Radit segera menggendong Bulan menuju ruang gawat darurat. Bulan pun langsung mendapat penanganan dari dokter. Radit segera menelpon ibunya Bulan.
Tak lama ibunya Bulan dating dengan wajah panic dan nafas sedikit tersengal. Bersamaan dengan itu dokter Danu keluar dari ruangan dan mempersilahkan ibunya Bulan dan Radit untuk masuk. Keduanya segera masuk dan menghampiri ranjang Bulan. Bulan terlihat sangat pucat dan lemah. Peralatan medis dipasang dimana-mana.
“ma….terimakasih atas semuanya. Dan  Maafin Bulan ya…. Gak bisa bahagiain mama.. Bulan terus aja repotin mama ” kata bulan
“ Nggak, sayang…. Kamu gak pernah repotin mama,,, justru mamalah yang harusnya minta maaf sayang…” kata ibunya Bulan sambil meneteskan air mata.
“ Radit…. Terimakasih banyak kamu telah menemaniku, menghiburku dan perhatian sama aku… terimakasih ….. Bulan juga cinta sama Radit ” kata Bulan sambil tersenyum.
“ makasih… aku juga cinta sama kamu ” sahut Radit sambil menggenggam tangan Bulan dengan erat.
Itulah kata-kata terakhir Bulan padaku, dialah gadis yang mampu meluluhkan hatiku. Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan hal itu. Bulan akan selalu hidup di dalam hatiku.

Tidak ada komentar: