|
2011
|
|
|
[REMBULAN]
|
PENGARANG NUR PERMATA SARI
|
Sekarang
Radit dapat mengenakan jas putih ini dengan tanda pengenalnya. Di situ tertulis
dr. Radiya Handika. Betapa senang hatinya, sekarang ia telah menjadi seorang
dokter. Ia Benar-benar tidak bisa percaya impiannya selama ini menjadi
kenyataan. Telah seminggu ia bekerja di
sebuah rumah sakit besar. Setiap hari ia bertemu orang-orang yang menderita kanker, dari anak-anak hingga
orang dewasa. Dia sangat beruntung karena dokter-dokter senior juga ikut andil
dalam membantunya untuk balajar menjadi seorang dokter yang baik.
Seperti
biasa hari ini ia datang ke rumah sakit, namun hari ini ia datang lebih pagi. Ia
berjalan di koridor rumah sakit. Dengan tak henti tersenyum, entah kenapa hari
ini suasana hatinya sangat gembira.
“
Bruuk….” Sebuah suara membuat Radit tersontak kaget.
Segera
Radit mencari sumber suara. Ternyata apa yang ia lihat ? seorang gadis
tersungkur di samping kursi roda yang terselungkup di dekat taman. Radit segera
hampiri gadis itu dan menyandarkan gadis di pelukannya. Airmata menetes di pipi
gadis itu, tangannya memegang erat sebuah buku bersampul biru muda. Tak lama
kemudian ia pingsan.
“
Kamu baik-baik saja, buka matamu……. ” Radit pun panic.
“
Suster-suster…… suster….!!!”
“
Iya… dok, ada apa?” seorang suster datang.
“
Cepat bantu saya, anak ini terluka.”
“
Iya, Dok.”
Dengan
tergesa-gesa Radit segera membawa gadis itu ke ruang gawat darurat dan
membiarkan tim dokter Danu untuk menanganinya. Setelah beberapa lama ia
menunggu, akhirnya dokter Danu keluar. Radit langsung menyerangnya dengan
berbagai pertanyaan secara beruntun.
“
Bagaimana Dok ? apakah ia baik-baik saja? Apa yang terjadi padanya? Apakah
lukanya parah?”
“
Sebentar.. sebentar, tolong satu-satu dong pertanyaannya” jawab dokter Danu
dengan santai.
“
Bagaimana ?” Tanya Radit kembali
“
Bulan baik-baik saja kok, dokter. Hanya benturan ringan ” jawab dokter Danu.
“
Syukurlah kalau begitu, jadi namanya Bulan yah?”
“
Benar. Dia adalah pasienku. Sudah kurang lebih dua setengah tahun ia dirawat di
sini”
Setelah
lama berbincang-bincang dengan dokter Danu, Radit pun masuk ke ruangan tempat
Bulan dirawat. Ia pandangi wajah Bulan yang terlihat lelah, ia masih tak
sadarkan diri.
“
Ya, Tuhan! Betapa malangnya nasib gadis ini. Ia masih muda, tapi harus
menanggung beban yang sangat berat. Tak kusangka ia menderita penyakit yang
sampai sekarang belum ditemukan obatnya”
Hati
Radit terenyuk, tak sadar airmatanya jatuh membasahi pipinya. Apalagi ia
kembali teringat perkataan dokter Danu tadi bahwa Bulan menderita kanker otak
stadium empat. Yang berarti sudah stadium akhir. Tiba-tiba matanya melirik
sebuah buku yang segera menarik perhatian Radit.
“
Ini… Bukankah ini ! buku yang tadi dipegang Bulan ” pikier Radit.
Dia
pun buka helaian buku tersebut.
Tiap menit…. Tiap detik… Tiap jam … Dan
setiap waktu
Jantungku berpacu makin kencang…
Cemas menyerang sekujur tubuhku…
Menyergap serpihan-serpihan asa
Aku takut….
Aku takut…. Jantung ini tiba-tiba
berhenti
Aku takut…. Mata ini akan tertutup
untuk selamanya
Aku takut… raga ini akan kaku
Mengapa…. Takdir ini tergores padaku….
Serasa.. sayap asaku patah dan aku
terjatuh ke dasar lembah
Mengubur mimpi-mimpi
Meruntuhkan pondasi dan tiang-tiang
hidupku….
Setelah
membaca puisi itu Radit segera keluar. Radit
pergi menuju toilet. Tidak sadar ternyata air matanya menetes. Dia terdiam
membisu, sekujur tubuhnya dingin dan bergetar terenyuk dengan keadaan yang
Bulan alami.
Sementara
itu, di ruangan tempat Bulan kini terbaring lemah. Bulan mulai membuka matanya
serta menggerak-gerakkan tangannya. Bulan lalu memandangi sekelilingnya dan
pandangannya terhenti. Airmata Bulan mengalir deras membasahi pipinya yang
chubby. Isakannya semakin lama semakin keras.
Radit
segera kembali menuju kamar Bulan. Kebetulan hari ini ia tidak terlalu banyak
pekerjaan, semua tugasnya hari telah selesai ia kerjakan, sehingga ia punya
waktu cukup luang untuk bersantai-santai. Radit berniat untuk melihat keadaan
Bulan. Semakin dekat dengan kamar Bulan. Terdengar suara tangisaan seseorang.
Radit pun terus berjalan, sesampai di depan pintu, di balik kaca kecil pintu
kamar Bulan dirawat ia melihat Bulan sedang menangis. Radit mendorng gagang
pintu dan langsung menghampiri Bulan.
“
Ada apa ? mengapa kau menangis ?” Tanya Radit lalu menjongkokkan badannya
mendekati ranjang Bulan.
Bulan
tak menjawab, ia terus menangis terlihat matanya sudarh agak bengkak karena
terus menangis.
“
Baiklah, tenang-tenang !!! sebaiknya kau minum terlebih dahulu ” kata Radit
lagi seraya menyodorkan segelas air putih kepada Bulan. Bulan mengangggukkan
kepalanya dan tangisannya sudah mulai reda. Bulan segera meinum air yang Radit
berikan.
“
Kau sudang merasa baikan? ” Tanya Radit. Namun Bulan masih diam membisu.
“
Ada apa? Kau bisa mengatakannya kepadaku ” Radit terdiam sebentar dan
menatap wajah Bulan, dari wajah Bulan
terlihat sekali kesedihan yang dalam.
“
Aaaaah….. aku lupa. Mana mungkin kau menceritakan apapun kepadaku, sedangkan
kita saja belum kenal, iya kan? Namaku Radit, kamu bisa memanggilku Radit. Kamu
Bulan kan? ” kata Radit seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum.
“
Iya ” jawab Bulan lemah.
Bulan
mengangkat kepalanya sembari menyungingkan senyuman kecil. Radit senang sekali
melihatnya kini tersenyum tidak seperti tadi, ia terus-menerus menangis. Tidak
lama seorang wanita paruh baya berpakaian kantor masuk dengan tergesa-gesa dan
langsung memeluk Bulan.
“
sayang…. Kamu tidak apa-apa kan… apanya yang sakit ? ” Tanya wanita itu seraya
membelai wajah bulan dengan lembut.
“
tadi bulan terjatuh di taman. Tapi lukanya tidak parah kok.. Cuma ssedikit
terbaentur ” sahut Radit.
“syukurlah….
Kamu tidak apa-apa sayang… terimakasih ya dok !”
“
iya… sama-sama…. Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu”
“iya…
silahkan”
****
Sebulan
telah berlalu,Radit kini semakin akrab dengan Bulan. Setiap hari Radit selalu
menyempatkan diri untuk menjenguk Bulan selepas selesai tugas. Mereka
membicarakan banyak hal, bercanda, dan sesekali curhat masalah pribadi. Radit
hari-hari bekerja di rumah sakit ini sangat menyenangkan ditambah kehadiran
Bulan di kehidupannya. Persahabatan pun telah terjalin di antara mereka. Radit
mulai merasakan benih-benih cinta yang mulai tumbuh di hatinya terhadap Bulan. Bahkan
terkadang menemaninya hingga larut malam apabila tak ada kerjaan atau lagi
malas pulang ke rumah karna Radit hanya tinggal sendiri di rumah, ayah dan
ibunya jarang sekali berada di rumah, karena mereka terlalu sibuk dengan
pekerjaan masing-masing. Seperti malam ini Radit menemani Bulan sampai larut.
Radit mendorong kursi roda Bulan, membawanya ke taman rumah sakit yang terletak
tidak jauh dari kamar Bulan. Mereka duduk di kursi taman sembari memandangi
langit yang bertaburan bintang serta bulan yang bersinar terang. Suasana hening
malam mulai menyelimuti, rumah sakit mulai sepi karna para pasien sudah mulai
beristirahat dan para pengunjung pun sudah tidak terlihat. Hanya ada beberapa
dokter dan suster yang mendapat jadwal malam yang berada di ruang kerja.
“
Malam ini langit sangat indah ya!! ” ucap Bulan.
“
Benar,, coba lihat bintang itu !! ” seru
Radit sambil mennjuk dengan jari telunjuknya.
“
iya. Bintang itu sepertinya lebih besar dibanding bintang yang lain, benarkan?”
Tanya Bulan.
“
Benar ” sahut Radit.
“
ada bintang jatuh… cepat buat permohonan” seru Bulan. Ia memejamkan matanya dan
mengucapkan permintaannya dalam hati. Semoga aku dapat hidup sedikit lebih
lama, setidaknya untuk berada disampingnya walau hanya sekejap.
“
dok…” kata Bulan
“
hmmm… kayaknya lebih baik kamu panggil nama aja deh… soalnya kita kan seumuran.
Kalau dipanggil dok.. jadi terkesan tua ” kata Radit sambil nyengir
“
hmmm… baiklah.. Ra,,dit ”
Bulan
tersenyum. Ia terlihat sangat manis sekali. Matanya yang agak sipit hampir
tenggelam karena pipinya yang chubby.
Untuk
sekejap mereka terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri.Tak lama Bulan telah
tersandar di bahu radit, ia tertidur pulas. Radit memandangi wajah bulan yang
mungil dan chubby. Bulan terlihat sangat manis dan ekspresinya sepertinya ia
sangat bahagia. Malam semakin larut. Bulan di langit bersinar semakin terang
menemani heningnya malam.
****
Hari ini seperti biasa, sehabis
bertugas Radit kembali mengunjungi Bulan. Tapi ada yang berbeda, ia ekspresi
wajahnya sangat senang dan bersemangat.
“ Aku akan mengatakan padanya… semoga
ia suka ” batin Radit.
Radit
berjalan menuju kamar Bulan, ditangannya ada seikat mawar merah segar yang ia
beli di toko bunga di depan rumah sakit selepas makan siang tadi. Radit
memasuki ruangan tempat Bulan dirawat. Tetapi, Bulan ternyata tidak ada di sana Radit pun segera menuju
taman, ia yakin Bulan ada di sana. Radit menyusuri sekitar taman. Ia akhirnya
menemukan Bulan.
“
Bulan….. ” sapa Radit. Bulan membalikkan mukanya seraya tersenyum. Keduanya
kemudian duduk di kursi taman. Mereka mulai berbincang-bincang. Hingga saatnya
Radit untuk mengungkapkn perasaannya pada Bulan.
“
emmmm….. Bulan… aku mau bicara sesuatu sama kamu..”
“
ya… ” jawab Bulan dengan lembut.
“ aku…
aku………….aku…… aku sayang sama kamu ” ucap Radit dengan lega akhirnya ia dapat
mengatakannya. Namun, Bulan hanya diam.
Bulan
merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, kepalanya terasa berat. Bulan
mencoba untuk membuka matanya, namun tidak bisa. Terasa sangat berat
pandangannya menjadi putih. Tubuhnya lemah lunglai. Darah segar menetes dari
hidungnya. Ia merasakan inilah saat-saat terakhirnya. Ia pun bersandar di bahu
Radit.
“
bagaimana dengan kamu ?.... ” Tanya
Radit seraya memberikan setangkai bunga mawar yang ia bawa tadi. Tapi, Bulan tetap
diam. Radit pun menoleh ke arah Bulan.
“ Bulan…………. Kamu tidur ? ” Tanya Radit lagi.
Dipandanginya Bulan dengan seksama.
“Bulan…
kamu mimisan….. Bulan… Bangun….. sadarlah buka matamu ”
“
Radit….” Desah Bulan sambil tersenyum kepada Radit. Ia masih memegang erat buku
yang bersampul biru.
“
sudah… kamu jangan bicara dulu”
“
radit…. Aku juga sayang sama kamu ” desah Bulan
“
terima kasih Tuhan… aku masih diberikan kesempatan untuk berada di sisinya
meski hanya dalam hitungan detik… aku bahagia… sa…ngat bahagia….” Ucap Bulan
dalam hati.
“
Bulan… bertahanlah… aku akan panggil dokter ” kata Radit. Radit segera
menggendong Bulan menuju ruang gawat darurat. Bulan pun langsung mendapat
penanganan dari dokter. Radit segera menelpon ibunya Bulan.
Tak
lama ibunya Bulan dating dengan wajah panic dan nafas sedikit tersengal.
Bersamaan dengan itu dokter Danu keluar dari ruangan dan mempersilahkan ibunya
Bulan dan Radit untuk masuk. Keduanya segera masuk dan menghampiri ranjang
Bulan. Bulan terlihat sangat pucat dan lemah. Peralatan medis dipasang
dimana-mana.
“ma….terimakasih
atas semuanya. Dan Maafin Bulan ya…. Gak
bisa bahagiain mama.. Bulan terus aja repotin mama ” kata bulan
“
Nggak, sayang…. Kamu gak pernah repotin mama,,, justru mamalah yang harusnya
minta maaf sayang…” kata ibunya Bulan sambil meneteskan air mata.
“
Radit…. Terimakasih banyak kamu telah menemaniku, menghiburku dan perhatian
sama aku… terimakasih ….. Bulan juga cinta sama Radit ” kata Bulan sambil
tersenyum.
“
makasih… aku juga cinta sama kamu ” sahut Radit sambil menggenggam tangan Bulan
dengan erat.
Itulah
kata-kata terakhir Bulan padaku, dialah gadis yang mampu meluluhkan hatiku.
Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan hal itu. Bulan akan selalu hidup di
dalam hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar